Minggu, 09 April 2017

Yunia's Journey (1)



Aku masih bisa mendengar ringkikan kayu tua pepohonan yang dihinggapi burung-burung kecil yang bernyanyi pelan, hal yang selalu aku dengar kala mentari yang semula enggan melepaskan diri dari rengkuhan kegelapan yang semalam menyelimuti bumi. Sesaat mengerjapkan mata berkali-kali berusaha menyesuaikan diri. Masih pagi. Ah, kala pagi mulai berlalu ada satu ingatan yang membuatku tersadar. Di pagi hari beberapa tahun yang lalu, masih dengan seragam putih abu-abu aku pernah berlari dari rumahku hingga sekolah, entah saat itu hanya percaya pada kekuatan mimpi atau memang aku sudah mulai berjuang demi mimpi-mimpi yang sekarang tengah ku bangun. Sama halnya seperti ribuan orang di dunia ini, aku sama ingin berjuangnya dengan mereka demi untuk membuktikan diri bahwa aku tak hanya bisa makan dan e’e saja di muka bumi. Setidaknya ada orang-orang yang aku ingin mereka bahagia dan bangga karena ku, setidaknya ada hal-hal luar biasa yang ingin aku lakukan, setidaknya ada target-target yang ingin aku capai dengan berjuang habis-habisan karenanya, setidaknya akan ada catatan usahaku setelah berserah diri pada Sang Pencipta, my Allah.
Deru air sungai dibelakang rumah singgah yang ku tempati selama lebih kurang empat tahun terakhir ini mungkin adalah satu-satunya saksi yang tak pernah berubah dimakan waktu, selalu ada, seolah menjadi musik pengiring perjalanan panjang masa kuliah yang membosankan itu sampai kegelisahan menyusun skripsi yang tak pernah ada habisnya. Meski tak ayal beberapa orang dari teman-temanku yang pernah menginap atau sekedar mampir di kamar (di rumah singgah) ku menganggap suara itu suara yang menakutkan, bahkan tak sedikit yang menganggapnya suara hujan. Hahaha, terdengar lucu memang, tapi terkadang saat diri sedang tengah setengah sadar usai tertidur dan menyadari memiliki seember jemuran diluar, bangun dan lantas mendengar suara itu menyakininya sebagai suara hujan dan tergopoh-gopoh berlari menyelamatkan jemuran, yang lantas tertawa sendiri menyadari mentari masih terang dan sedang terik-teriknya. Ini bisa jadi salah satu pengalaman bodoh yang akan selalu aku rindukan selain kerusuhan Vita dan Ana yang senantiasa membuatku merasa tidak sendiri.
Dan cerita pahitnya dimulai setelah Vita harus pindah kota setelah selesai wisuda buat lanjutin KOAS di kampung sebelah (#eh, maksud ku Kota sebelah, Wonogori) rasanya tuh kayak ada yang hilang dari hidup ku, serius, beneran. Apalagi pas Ana mulai sibuk sama tugas-tugasnya, akhirnya aku berakhir menjadi penyendiri yang kesepian, terantuk-antuk merangkai kata demi kata untuk menyelesaikan skripsi dan belajar sekuat hati agak segera lulus. Mengejar wisuda periode agustus dengan tumpah darah penghabisan tanpa ampun, yang harus kandas karena surat edaran baru dari Rektor yang memajukan tanggal yudisium jauh lebih cepat dari rencana awal, yang menyebabkan aku harus menunggu jadwal wisuda periode berikutnya, yang kemudian mengantarkan ku pada langkah cerita berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar