Aku
masih bisa mendengar ringkikan kayu tua pepohonan yang dihinggapi burung-burung
kecil yang bernyanyi pelan, hal yang selalu aku dengar kala mentari yang semula
enggan melepaskan diri dari rengkuhan kegelapan yang semalam menyelimuti bumi. Sesaat
mengerjapkan mata berkali-kali berusaha menyesuaikan diri. Masih pagi. Ah, kala
pagi mulai berlalu ada satu ingatan yang membuatku tersadar. Di pagi hari
beberapa tahun yang lalu, masih dengan seragam putih abu-abu aku pernah berlari
dari rumahku hingga sekolah, entah saat itu hanya percaya pada kekuatan mimpi
atau memang aku sudah mulai berjuang demi mimpi-mimpi yang sekarang tengah ku
bangun. Sama halnya seperti ribuan orang di dunia ini, aku sama ingin
berjuangnya dengan mereka demi untuk membuktikan diri bahwa aku tak hanya bisa
makan dan e’e saja di muka bumi. Setidaknya ada orang-orang yang aku ingin
mereka bahagia dan bangga karena ku, setidaknya ada hal-hal luar biasa yang
ingin aku lakukan, setidaknya ada target-target yang ingin aku capai dengan
berjuang habis-habisan karenanya, setidaknya akan ada catatan usahaku setelah
berserah diri pada Sang Pencipta, my Allah.
Deru
air sungai dibelakang rumah singgah yang ku tempati selama lebih kurang empat
tahun terakhir ini mungkin adalah satu-satunya saksi yang tak pernah berubah
dimakan waktu, selalu ada, seolah menjadi musik pengiring perjalanan panjang
masa kuliah yang membosankan itu sampai kegelisahan menyusun skripsi yang tak
pernah ada habisnya. Meski tak ayal beberapa orang dari teman-temanku yang
pernah menginap atau sekedar mampir di kamar (di rumah singgah) ku menganggap
suara itu suara yang menakutkan, bahkan tak sedikit yang menganggapnya suara
hujan. Hahaha, terdengar lucu memang, tapi terkadang saat diri sedang tengah
setengah sadar usai tertidur dan menyadari memiliki seember jemuran diluar,
bangun dan lantas mendengar suara itu menyakininya sebagai suara hujan dan
tergopoh-gopoh berlari menyelamatkan jemuran, yang lantas tertawa sendiri
menyadari mentari masih terang dan sedang terik-teriknya. Ini bisa jadi salah
satu pengalaman bodoh yang akan selalu aku rindukan selain kerusuhan Vita dan
Ana yang senantiasa membuatku merasa tidak sendiri.
Dan
cerita pahitnya dimulai setelah Vita harus pindah kota setelah selesai wisuda
buat lanjutin KOAS di kampung sebelah (#eh, maksud ku Kota sebelah, Wonogori) rasanya
tuh kayak ada yang hilang dari hidup ku, serius, beneran. Apalagi pas Ana mulai
sibuk sama tugas-tugasnya, akhirnya aku berakhir menjadi penyendiri yang
kesepian, terantuk-antuk merangkai kata demi kata untuk menyelesaikan skripsi
dan belajar sekuat hati agak segera lulus. Mengejar wisuda periode agustus
dengan tumpah darah penghabisan tanpa ampun, yang harus kandas karena surat edaran
baru dari Rektor yang memajukan tanggal yudisium jauh lebih cepat dari rencana
awal, yang menyebabkan aku harus menunggu jadwal wisuda periode berikutnya,
yang kemudian mengantarkan ku pada langkah cerita berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar