Rabu, 01 Juni 2011

AIRMATA DUKA UNTUK SAHABAT,

PART  2

Waktu terus berjalan, tak terasa hari-hari yang ku lalui tanpa UQ telah sampai pada hari terakhir menjelang 3 bulan kepergiannya, dan tentunya besok dia akan sampai disekolah. Perasaan rindu ku padanya benar-benar telah menggumpal, sampai-sampai aku ingin pagi segera datang agar aku dapat melihat senyuman laki-laki berbintang ARIES yang sangat ku cintai itu.
Pagi yang kunanti semenjak 3 bulan lalu, berubah menjadi pagi dimana ku harus menerima kenyataan bahwa laki-laki yang telah mampu mengembalikan senyum sahabat ku adalah MUHAMMAD ILHAM DZULKIFLI yang sekarang menjadi pacar ku.
“Nia, tu dia, laki-laki yang telah berhasil membuat ku kembali tersenyum. Tak inginkah kau menemuinya dan mengucapkan ucapan terima kasih padanya, seperti yang kau janjikan kemarin. Atau sekedar mengenalkan ku padanya, sebab ku tahu kalian sama-sama bergabung di Seksi Ilmu Pengetahuan di OSIS”, begitulah ucapan Atoen sahabatku sembari menunjuk laki-laki yang memasuki gerbang sekolah yang ternyata adalah UQ.. Aku tersentak, tapi tak ingin aku menghilangkan senyuman Atoen pagi itu, dengan perasaan yang berkecamuk, aku  berjalan perlahan menyambut laki-laki itu dengan genggaman tangan Atoen yang begitu erat di antara jemari ku. Genggaman itu seakan mengisyaratkan bahwa laki-laki itu benar-benar sangat ingin di miliki olehnya.
“Oh, oh, itu yang namanya Ilham. Ya, aku sangat mengenalnya”. Jawabku atas ucapan Atoen yang barusan ku dengar, seraya melangkah mendekati laki-laki yang baru pulang dari Ibukota itu.

“Pagi, Nia....” Sapa UQ pada ku
“Pa, pa,,pagi Ki, eh Ilham. Kenalin ini Atoen teman ku, hmmm,” sapa Ku dengan begitu gugup sambil menahan kerinduan ku pada Sang Bintang karena ada gumpalan Awan diantara kami saat itu.
“Hai,,, aku Atoen, senang berkenalan dengan mu. Aku teman baiknya Nia loh” sapa Atoen yang dengan spontan penuh senyum pada laki-laki yang seharusnya sudah ku peluk erat.
“Ha,,ha,,hai,, Senang berkenalan dengan mu juga. A.a.aku, pa..” jawab UQ yang penjelasannya terpotong karena ku tatap lirih. Ada sesuatu di balik matanya, ya, rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi. Juga tentang maksud sikap ku yang seakan-akan ingin menjodohkannya dengan Atoen Sahabat ku sendiri.
Saat itu, ku biarkan Atoen dan UQ berbicara satu sama lain, meski hati ini rasanya telah tak mampu menahan sakit yang begitu mengiris. Derap langkah yang sebenarnya telah penuh dengan kecemburuan pada kebersamaan mereka, ku langkahkan satu demi satu, menjauh dari Atoen dan UQ ku. Sesekali aku berbalik memandang sayup mereka yang telah cukup berjarak dari ku, dan saat itu tak sengaja aku melihat mata redup dari bintangku, yang seakan berisyarat bahwa dia begitu rindu padaku dan kebingungannya atas situasi pagi itu. Hari itu berlalu, tanpa aku diberikan satu detik pun untuk melihat wajahnya lagi setelah pagi pergi. Pikiran ku galau, ingin rasanya aku memberitahukan Atoen tentang hubungan kami, tapi bagaimana dengan perasaannya yang begitu dalam pada UQ yang telah menjadi bagian dari nyawa ku itu sekarang. Setelah merebahkan ragaku yang letih dengan semua perasaan yang galau itu di atas kasur badcover hijau berlatar inuyasya kesukaan ku. Aku terlelap hingga mimpi itupun datang.
“Siang, sayang....” ku dengar suara merdu dari seorang Laki-laki yang ternyata adalah BISMA, ya BISMA, Cinta Pertama bagiku dan juga Atoen. Bertemu dengannya saat itu adalah kebahagiaan yang begitu hangat ku rasa, meski memang hubungan kami dulu adalah cinta terlarang yang sampai saat inipun tak di ketahui oleh siapaun, terlebih Atoen yang memang telah menjadi tunangan BISMA sebelum kami menjalin hubungan itu.
“Siang, Bis,  aku  tengah terluka sekarang, begitu dalam. Dan sepertinya tak akan terobati”.
“Apa itu karena UQ?”
“Ya, soal dia. Rasanya tak ingin aku bagi dia dengan siapapun. Tapi bisakah aku menyalahkan Atoen atas apa yang terjadi sekarang”.
“Tak ingatkah kamu, tentang kesalahan kita terhadap Atoen yang telah  menjalin cinta lain di belakangnya?. Ataukah kamu ingin tetap egois mempertahankan cinta UQmu demi menyakiti Atoen untuk kedua kalinya?”
“Tapi kenapa harus UQ? Kenapa Bis? Orang yang begitu ku cintai itu, haruskah aku melepasnya sebagai balasan atas karma kita terhadap Atoen. Hati ini begitu tak rela, Bis”.
“Posisi mu sekarang, bahkan lebih baik dari posisi Atoen dulu. Setidaknya kamu mengetahui Atoen mencintai UQ juga, tapi bagaimana dengan Atoen yang sama sekali tak tahu tentang hubungan kita?”
“Haruskah demikian? Tapi bagaimana aku menjelaskan semuanya pada UQ, Aku sadar akan kesalahan kita Bis, tapi haruskah aku melukai hati UQ dalam hal ini?”.
“Harus, demi aku, demi cinta kita, demi cintamu padanya, juga demi kebahagiaan Atoen yang telah kita renggut”.
“Baiklah, jika memang itu demi semua hal yang kamu ucap”.
“I beliefe you, and please don’t mad me. I love You, my second love. I must be going now”.
“Bis................ tunggu”.

Aku terbangun, dan tersadar akan semua hal yang ku lalui dalam mimpi itu. Memandangi bayangan gelap ku diantara bilasan sinar mentari sore yang memasuki jendela kamarku, tak sadar air mata ku telah mengalir di antara dua pipiku.
“Haruskah, UQ yang menerima luka atas apa yang ku lakukan?. Haruskah ku korbankan perasaannya atas karma masa lalu ku?. Dan kenapa harus dia yang mesti terluka atas kejadian ini, kenapa tak aku saja Tuhan........., aku yang melakukan perbuatan itu”. Isak ku dalam hati, sembari menatap sendu foto UQ yang ku peluk erat di dadaku.
Kala sendu sendiri memandangi foto UQ yang ku genggam, ku dengar derap langkah seseorang memasuki kamar ku.
“Hei, lagi sakit ya? Mama mu bilang, kamu ndak keluar kamar sejak tadi siang”. Ternyata UQ lah yang datang, tak mampu aku memandang wajahnya apalagi menatap matanya yang selalu penuh cinta itu. Akhirnya aku menoleh ke arah lain membuang muka dari hadapannya.
“Nia, kamu marah ya? Maaf yaah, tadi  bukannya aku tak ingin menemui mu disekolah, hanya saja aku harus pulang lebih dulu. Ada sesuatu yang harus aku urus...”. Belum selesai mendengar penjelasannya, lenganku menarik tubuhnya, dan memeluknya erat. Dia hanya tersenyum. Tapi rasanya tak kuat harus ku lepaskan dia dan cintaku untuknya untuk membayar cinta terlarangku.
“Aku kangen sama kamu, kangen bangat”.
“Aku juga, sayang. Udah jangan nangis dong. Nia kan udah janji gak akan cengeng lagi”. Dia begitu mengerti aku, sembari menyeka air mata di pipi ku.
“UQ, aku sayang sama kamu. Apa kamu percaya akan cinta aku buat mu?” kataku sambil melepaskan diri dari pelukan UQ.
“Aku percaya, dan bahkan sangat percaya. Sebab aku yakin, air mata mu barusan telah membuktikannya”.
“Sebesar itukah kepercayaan mu padaku? Tapi bagaimana jika aku kelak melukai mu dengan penghianatan yang ku lakukan”.
Mendengar kalimat yang ku lontarkan, UQ bingung, dan menatap mata ku dengan tanda tanya, apa yang terjadi padaku, mungkin itu yang sangat ingin dia ketahui. Tapi tanpa basa-basi, dia tersenyum dan berkata,
“Aku mencintaimu dengan kepercayaan yang begitu dalam akan cintamu juga. Meski aku harus terluka oleh penghianatan mu, aku rela. Sebab kamu adalah cinta pertama ku, dan kelak akan menjadi cinta yang satu-satunya untuk ku”.

Mendengar tuturnya kala itu, rasanya inginku pukuli diriku sendiri. Dapatkah aku membayar besar dan tulusnya cinta UQ padaku? Entahlah, tapi inilah kenyataan yang harus aku jalani.

Aku hapus airmata duka itu, senada itupun ku hela napas panjang,
“Ki, aku tidak mencintaimu”. Ku lihat dia tersentak, ada duka di matanya, lalu apa bisa ku?.

“Tak pernah ada cintamu untuk ku? Lalu apa artinya aku untuk mu?”
“Hanya obat sendu, obat lara untuk duka lama ku”
“Apa????????????”
“Apa kau begitu larut dan percaya pada cinta ku? Bodoh! Cinta itu tak pernah ada buat mu”
“Hanya sebagai obat bagimu? Apa hanya itu arti ku untukmu? Lalu, cinta yang sering kamu junjung itu, untuk siapakah sebenarnya?”
“Ghazaly, ya. Muhammad Ghazaly, dia orang yang begitu aku cintai. Kamu hanya..”
“Bohong!!!!” tubuhku di peluknya, berusaha ingin lepas, tapi apa dayaku. Mengucap kata itupun ragaku rapuh, cinta ini untuknya, tak untuk orang lain. Ketika tersandar dipelukannya, airmata yang ku tahan ketika mengucapkan kalimat itu telah cair, tak mampu terhenti. Tapi semua demi Atoen sahabat yang begitu aku cintai.

“Jujur pada ku Nia, ini semua bohongkan?” matanya memerah menahan debur air mata yang kuat di bendungnya. Ku lepas pelukannya, seraya menghapus jejak airmata dipipi ku.
“Jujur? Aku tak pernah bisa jujur padamu. Sebab kamu bukan apa-apa bagiku. Menurutmu kenapa aku harus jujur padamu?”
“Apa tak pernah ada kisah manis kita yang kamu ingat, setelah 2 tahun kita berhubungan?”
“Aku pernah bilang padamu, di dunia ini tak ada satu hal pun yang bisa kau percayai, selain dirimu sendiri. Juga cinta Atoen untukmu”
“Atoen? Apa maksudmu?”
“Dia sebenarnya kisah mu, yang benar-benar cinta bagimu. Bukan aku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar