Selasa, 10 Mei 2011

SEANDAINYA KAU TAHU ISI HATIKU,,

PART 2
“Atun, sini dong!” seru Bisma ketika Atun celingukan di kantin. Ia  menghampiri Bisma yang segera memesankan segelas Jus apel kesukaannya.
“Tadi aku lihat kamu dan Rena...”
“Oh itu, iya. Si Rena mati-matian mengajakku nonton konser Justin Beiber karena ia punya dua tiket VIP hadiah dari ayahnya. Sayangnya acara tersebut malam minggu besok. Jadi kubilang padanya apa kamu membolehkan aku atau tidak untuk pergi menemaninya.”
Kejujuran Bisma menggores hati Atun seperti paku tajam berkarat yang di tancapkan. Akankah ia bilang tidak padahal mereka sendiri tidak pernah bisa menikmati malam minggu bersama. Tapi Bisma adalah pacarnya, ia berhak melarangnya bukan?. Kalau Atun mengizinkan mereka pergi, bukan mustahil Rena akan semakin melancarkan PDKTnya dengan Bisma.
“Kenapa harus kamu, Bis?”
“Rena tahu, aku ngeh bangat ma Si Justin”.
“Hah, pertanyaan bodoh”. Ucap Atun dalam hati. Ia sendiri pernah memberikan satu tiket untuk Bisma beberapa waktu lalu yang langsung di sambut sukacita oleh Bisma.
“Terserah kamu sajalah”. Keluh Atun.
“Hei..... kamu tidak marah? Kenapa tidak melarang ku pergi? Kamu kan pacar ku, Tun?”

Bisma terlongong memandang gadisnya. Ia tidak mengerti sikap Atun yang seperti itu. Teringat lagi bagaimana ia kagum pada Atun yang tidak sombong meskipun anak orang kaya. Dari iseng-iseng memperhatikan, lama-lama Bisma jatuh cinta betulan. Puisi-puisi gubahannya teratur dikirimnya untuk Atun. Tak sangka, Atun menyukai puisi-puisi itu bahkan membalasnya juga.  Pada akhirnya Bisma bisa meraih hati Atun karena kelembutan dan kesentimetilan sifatnya.
“Atun, aku juga  sayang kamu. Tapi tawaran Rena benar-benar...”
“Pergi saja. Aku tidak apa-apa”.

Duh, seandainya saja  Atun melarang Bisma waktu itu, mungkin saat ini Bisma masih selalu bersamanya. Tapi lihatlah, lagi-lagi ia harus melihat Rena tengah berduaan dengan pacarnya. Tanpa malu-malu dan di tengah keramaian sekolah mereka.
“Kamu nggak marah dengan Rena yang bertingkah seperti itu?” tanya Niza.
“ Marah juga percuma, Niz”
“Tapikan kan...”
“Kan sudah ku ceritakan akhir malam minggu kami. Buyar kami, mami dan papi langsung saja menyemprotku habis-habisan. Aku sampai malu pada adikku,”
“Kamu, belum boleh pacaran?”
“Boleh sih, tapi...”
“Karena Bisma hitam, dan kamu putih?”
“He’eh”.
“Karena Bisma belo’ dan kamu sipit? Gitu?”

Atun mengangguk lesu. Dan Niza tidak berani mengusik sahabatnya lagi. Yang Niza tahu, pastilah drama percintaan mereka akan berakhir dengan menyisakan sakit dihati keduanya, cepat atau lambat.
Bisma tentu saja tahu, di ujung sana Atun  tengah  memandanginya bersama Niza. Tetapi ia pun harus mengakhiri ini dengan pelan-pelan. Semalam ayahnya mendapatkan surat cinta dari Atun yang lupa dia simpan. Keteledoran itu membuahkan kemarahan.
Jalan pikiran mereka memang tidak sealur denga idealisme orangtua mereka. Segala bibit, bebet, bobot yang diomongkan ibu dan ayah membuat kepala Bisma pening mendadak. Memangnya kalau ia pacaran sekarang, berarti akan menikah besok atau lusa? Salahkah kalau ia pacaran dengan Atun yang cantik dan baik itu? Salah, menurut ayahnya, karena gadis itu tidak sesuku dengannya. Salah, kata Ibunya, karena gadis itu tidak seiman dengannya. Bisma menyesal karena ia hanyalah seorang siswa SMU yang baru mengenal arti indahnya cinta. Mungkin seandainya ia sudah bekerja, segala tata kehidupan dan norma-norma kejam yang sudah terpatri turun temurun ini bisa di dobraknya untuk tetap memiliki Atun. Siapa sih yang rela melepaskan seorang gadis baik seperti Atun?

Maka, di siang menjelang sore itu, mereka berjanji untuk tidak langsung pulang tetapi saling menunggu di depan gerbang perpustakaan.
“Kau bilang apa pada supirmu?” tanya Bisma, memulai obrolan mereka.
“Kubilang saja masih ada rapat untuk perpisahan sekolah”.
“Tun, ku rasa kau sudah tahu apa yang akan ku omongkan, bukan?”

Atun mengangguk. Belum lagi Bisma memulai ucapan berikutnya, airmata Atun telah meluncur membasahi pipinya yang putih bersih itu. Tidak hanya menitik, bahkan menganak sungai. Sehingga Bisma merasa tidk tega.
“Seandainya kau tahu isi hatiku, Bis”.
“Aku juga ingin bilang begitu padamu. Cinta kita tulus dan indah, Tun. Tetapi banyak sekali pertimbangan yang telah merusaknya”.
“Iya, Bis... dan sayangnya, kita mesti memilih mengorbankan kemanisan cinta ini ketimbang memperjuankan untuk mempertahankannya”. Atun masih terisak.

Bisma membenarkan dalam hati. Apalah artinya mereka dimata orang tua yang tengah berjuang memberikan yang terbaik menurut pandangan mata mereka. Sekeras apapun Bisma dan Atun ingin  memberontak, tak kan semudah itu meluluhkan perasaan hati ayah dan ibu mereka.
“Apa kamu merasakan sakit yang sama di hati ini Tun?” tanya Bisma perlahan.

Atun hanya bisa mengangguk sekilas. Tidak tahukah Bisma, saat ini ada sebongkah besar batu didalam dadanya yang membuatnya seperti tercekik karena sesak.

Mereka berpelukan erat. Tidak ada yang melihat ketika Bisma mencium kening pacarnya, hangat dan dalam. Sebuah ciuman tanda berpisah yang murni keluar dari lubuk hati mereka. Karena setelah ini mereka akan kembali ditenggelamkan oleh ikatan norma, adat, suku, dan kaidah-kaidah seterusnya. Yang entah sampai kapan, yang masih akan terus menyangkarkan kebebasan mereka.

Sekolah benar-benar menjadi saksi cinta Bisma dan Atun, yang terus bergenggaman tangan sampai di gerbang sekolah. Dengan tanpa henti, kedua pasang mata mereka terus meneteskan tetes air mata terakhir lambang perpisahan.

..................=> Maaf klo ceritanya ndak bagoes,,,, tapi tu kisah nyata kok. Hanya saja, memang nama tokohnya z yang di ubah. Buat orang yang di pake namanya, tu adalah kesengajaan, sorry berat yah!!!!!!!!

1 komentar:

  1. waaaaaaaaaaaah, endingX kasihan bgt c, Atoen n Bismanya, masa' cuma gara2 beda status z merka harus putus, org tua kejaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam. tpi lnjutin, seru re!!!!111

    BalasHapus