Bulan sabit dan bintang kejora malam itu mejadi saksi ucapan cintanya terhadap ku, Dia MUHAMMAD ILHAM DZULKIFLI. Yang biasanya tampak tak peduli tentang cinta dan perasaan orang lain, malam itu benar-benar berbeda. Setelah kalimat itu terucap dari bibirnya, aku menatap matanya dengan lekat. Aku berusaha mencari cahaya lain dibalik matanya, dibalik mata indah nan sayup yang selalu tampak redup itu. Entah, Akupun tak mengerti apa yang aku cari dibalik mata itu, ataukah kepastian akan ucapan cintanyalah yan ku cari dibalik matanya.
“Tak mengerti perasaan ini, aku berusaha lari dan bersembunyi bersama perasaan ini dari pandangan mu. Tapi sejujurnya memang benar, jika saja bulan dan bintang di atas sana dapat berbicara, mungkin mereka akan memberitahukan pada mu, bahwa setiap malam menjemput aku selalu menitipkan salam rindu dan cintaku untuk mu kepada mereka. Tapi sayangnya, mereka tak akan pernah memberitahukan itu pada mu”. Itulah kalimat yang terdengar dari mulutnya, yang gerak bibirnya masih ku ingat sampai sekarang. Berusaha mengerti dan tak ingin menyakiti hati laki-laki yang mengingatkan ku pada cinta pertama ku itu, aku mencoba menarik lekuk senyum sembari menyunggingkan senyuman yang takkan pernah mampu mengalahkan senyuman UQ yang ku lihat malam itu.
Yah UQ , itulah nama panggilan yang ku tahu dari namanya yang panjang itu. Menyadari bahwa UQ adalah adik kelas yang baru ku kenal 1 semester, ku merasa tak harus menanggapi ucapan dan perasaannya sebagai sesuatu yang harus aku balas. Tapi seraya memegang erat tangannya aku mencoba menerimanya sebagai cinta baru yang harus ku terima sekarang, meski saat itu aku tengah terluka setelah kehilangan cinta pertama ku. Kepadanya yang saat itu tengah ku coba untuk mencintainya, aku meminta 1 hal, yaitu tak memberitahukan kepada siapapun tentang hubungan kami. UQ laki-laki yang lahir 1 tahun setelah ku itu hanya tersenyum dan mengiakan permintaan bodoh ku itu.
Waktu terus berjalan, hari-hari ku lewati dengan senyum dan perhatian darinya. Meski awalnya aku merasa risih dengan semua perhatiannya sebab dia hanya ku gunakan sebagai obat bius atas luka ku saat kehilangan cinta pertama ku. Tapi menjelang 3 semester kebersamaan kami, cinta yang ku anggap sebagai angin lalu yang tak pantas unuk dinanti, olehnya berubah menjadi padang bunga indah yang selalu memberi warna dan keharuman disekitarku. UQ yang awalnya ku anggap sebagai pelarian atas duka cinta pertama ku, sekarang telah berubah menjadi cinta yang sama sekali tak ingin ku bagi dengan siapapun. Backstreet diantara kami masih saja berjalan, meski sebenarnya aku sendiri telah berniat untuk memberi tahukan semua orang bahwa UQ adalah milik ku, karena aku mulai risih dengan fans-fans fanatik yang selalu mengandronginya di sekolah. Sebab hampir semua siswi disekolah ku tergila-gila padanya, termasuk juga Rabiatul Adwiah sahabat dekat ku yang awalnya tak aku ketahui.
Memasuki pertengahan bulan mei akhir semester, UQ yang bulan kemarin mengikuti Olimpiade Fisika mendapat peringkat 1 dan harus mewakili NTB untuk tingkat nasional. Aku sangat bahagia, laki-laki yang benar-benar mengikat hatiku itu ternyata tak hanya menguasai ilmu agama, ilmu hitungan yang sangat ku benci itupun nyatanya juga dikuasainya. Dengan senyum manisnya yang telah biasa ku lihat, dia mengahampiri ku seraya berkata, “Nia, bulanku, terima kasih atas doamu, semua yang ku dapat sekarang tentu tak akan ada tanpa doa dan cinta tulus dari mu . Tapi sebenarnya aku tak ingin pergi untuk mengikuti lomba itu, sebab itu berarti untuk 3 bulan aku harus jauh dan tak bertemu denganmu. Aku sama sekali tak ingin meninggalkan mu selama itu, jadi tahanlah aku untuk pergi”. Kalimat yang ku dengar itu, ternyata telah membuat mata laki-laki yang ku cintai itu basah dengan air mata.
Berusaha memberinya semangat aku hanya tersenyum dan memegang kuat jemarinya, “Pergi dan menanglah untuk ku, dan kembalilah lagi untuk ku”, sebenarnya kekhawatiran ku saat itu memuncak, bepikir dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi saat UQ pergi menuju ibukota yang tepisah oleh 3 selat dari kota kami. Hari itu, rasanya tak ingin berganti, sebab besok aku harus melepasnya pergi, meski tak berharap pagi datang, nyatanya pagi benar-benar telah datang. UQ (Dzulkifli), bintang jiwa ku, kepergiannya yang begitu tiba-tiba, serba mendadak, membuatku seperti terdesak. Kutatap matanya saat itu, jelas sekali diapun merasakan resah yang menyesakkanku. Tanpa kata lagi, diantara isak, aku melabuhkan tubuhku dipelukannya. Memeluknya seolah tak ingin ku lepas lagi, namun bus yang akan membawanya pergi telah bergerak perlahan.
“Aku pergi dulu, Nia” ucapnya. Ku tahu ada tangis yang terbendung dibalik bola matanya. “Menangislah Ki! Agar aku tahu betapa berartinya aku untukmu”.
Pelukan yang tadi dilerainya, kini dilingkarkannya kembali, sambil ia mengecup keningku. Meski tak ku lihat gemuruh didadanya telah membuatku yakin, tapi yang jelas bendungan yang dari tadi dipertahankannya, kini bobol. Dia melangkah mundur dari tempatku mematung, ujung jarinya menyeka air mata yang membasah di pipinya. Mata teduh itu tak hentinya menatapku. Sementara langkah mundurnya, kini tertahan. “Saat kamu merindukannku, yakinlah aku akan datang seperti bintang di malam hari, sebab malam adalah cinta kita, karena disaat itu Kamu Bulan dan aku Bintang, dan akan menggantung berdampingan ditengah angkasa menerangi gelapnya malam kita”. Ucapnya perlahan, seolah hanya diperdengarkannya untuk ku. Sedetik kemudian bus Safari Darma membawanya pergi untuk sperempat bagian tahun ku tanpa dia disampingku.
Hari-hari ku terasa sunyi tanpa kehadirannya, meski tiap 10 menit dalam 1 hari dia menghubungi ku melalui via telphon, tapi itu rasanya tak mampu mengobati kerinduan ku pada Bintang jiwa ku yang sekarang terpisah ratusan Km diseberang sana. Berniat membagi sedih ku pada Atoen (Rabiatul adwiah) sahabat ku, aku menghampirinya. Ternyata Atoen pun sedang ingin menceritakan cerita bahagianya pada ku. Mencoba untuk mengerti perasaan Atoen sahabat yang begitu ku sayangi itu, aku mempersilahkannya untuk menceritakan kabar bahagianya.
“Nia, aku ingin meminta pendapat darimu. Tentang seseorang yang membuatku telah berhasil melupakan BISMA, cinta ku yang nyawanya telah direnggut oleh genk motor. Dia seseorang yang telah membuat luka ku tentang kepergian BISMA menjadi kering. Aku sadar cintaku pada orang itu tak kan mampu mengganti cinta ku untuk BISMA, tapi yang jelas aku sangat mencintai orang itu. Aku sangat ingin dia menjadi pengganti BISMA sebagai tunangan ku, meski aku sadar sampai kapanpun BISMA takkan terganti oleh siapa pun”. Jelas Atoen dengan penuh antusias dan senyumnya yang ku rindukan semenjak dia kehilangan Bisma Karisma tunangannya, yang meninggal 3 tahun lalu karena ulah genk motor.
“Memangnya namanya siapa?” tanya ku mencoba menggali keingintahuanku tentang orang yang telah berhasil membuat senyum sahabat ku itu kembali.
“Ilham, namanya Ilham”.
“Ilham? Ilham mana? Apa dia anak sekolahan kita?”
“Ya, dia adik kelas kita, masa’ kamu ndak kenal sih? Dia satu seksi dengan mu di Osis”
“Ilham,,, hmm.. Q jadi penasaran sama dia, kapan-kapan kenalin yah!”
“Bahkan sekarang aku yang ingin minta bantuan mu untuk mengenalkan ku dengannya. Tapi sekarang dia tidak ada di sekolah, karena ku dengar kabar dia sedang pergi keluar kota”.
“Oh,, begitu ya sudah, ntar kalau dia udah pulang tunjukin dia ke aku, dan ku janji akan ngenalin kamu ke dia. Sekalian aku pengen menyampaikan ucapan terima kasih padanya, karena telah mengembalikan senyum mu lagi”.
Pembicaraan jam istrahat itupun terhenti, karena aku harus masuk kelas dan jam istrahat telah habis. Niat ku untuk menceritakan kerinduan ku terhadap UQ pada atoen pun benar-benar kandas hari itu. Waktu terus berjalan, tak terasa hari-hari yang ku lalui tanpa UQ telah sampai pada hari terakhir menjelang 3 bulan kepergiannya, dan tentunya besok dia akan sampai disekolah. Perasaan rindu ku padanya benar-benar telah menggumpal, sampai-sampai aku ingin pagi segera datang agar aku dapat melihat senyuman laki-laki berbintang ARIES yang sangat ku cintai itu.
Pagi yang kunanti semenjak 3 bulan lalu, berubah menjadi pagi dimana ku harus menerima kenyataan bahwa laki-laki yang telah mampu mengembalikan senyum sahabat ku adalah MUHAMMAD ILHAM DZULKIFLI yang sekarang menjadi pacar ku.
“Nia, tu dia, laki-laki yang telah berhasil membuat ku kembali tersenyum. Tak inginkah kau menemuinya dan mengucapkan ucapan terima kasih padanya, seperti yang kau janjikan kemarin. Atau sekedar mengenalkan ku padanya, sebab ku tahu kalian sama-sama bergabung di Seksi Ilmu Pengetahuan di OSIS”, begitulah ucapan Atoen sahabatku sembari menunjuk laki-laki yang memasuki gerbang sekolah yang ternyata adalah UQ.. Aku tersentak, tapi tak ingin aku menghilangkan senyuman Atoen pagi itu, dengan perasaan yang berkecamuk, aku berjalan perlahan menyambut laki-laki itu dengan genggaman tangan Atoen yang begitu erat di antara jemari ku. Genggaman itu seakan mengisyaratkan bahwa laki-laki itu benar-benar sangat ingin di miliki olehnya.
“Oh, oh, itu yang namanya Ilham. Ya, aku sangat mengenalnya”. Jawabku atas ucapan Atoen yang barusan ku dengar, seraya melangkah mendekati laki-laki yang baru pulang dari Ibukota itu.
“Pagi, Nia....” Sapa UQ pada ku
“Pa, pa,,pagi Ki, eh Ilham. Kenalin ini Atoen teman ku, hmmm,” sapa Ku dengan begitu gugup sambil menahan kerinduan ku pada Sang Bintang karena ada gumpalan Awan diantara kami saat itu.
“Hai,,, aku Atoen, senang berkenalan dengan mu. Aku teman baiknya Nia loh” sapa Atoen yang dengan spontan penuh senyum pada laki-laki yang seharusnya sudah ku peluk erat.
“Ha,,ha,,hai,, Senang berkenalan dengan mu juga. A.a.aku, pa..” jawab UQ yang penjelasannya terpotong karena ku tatap lirih. Ada sesuatu di balik matanya, ya, rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi. Juga tentang maksud sikap ku yang seakan-akan ingin menjodohkannya dengan Atoen Sahabat ku sendiri.
Saat itu, ku biarkan Atoen dan UQ berbicara satu sama lain, meski hati ini rasanya telah tak mampu menahan sakit yang begitu mengiris. Derap langkah yang sebenarnya telah penuh dengan kecemburuan pada kebersamaan mereka, ku langkahkan satu demi satu, menjauh dari Atoen dan UQ ku. Sesekali aku berbalik memandang sayup mereka yang telah cukup berjarak dari ku, dan saat itu tak sengaja aku melihat mata redup dari bintangku, yang seakan berisyarat bahwa dia begitu rindu padaku dan kebingungannya atas situasi pagi itu. Hari itu berlalu, tanpa aku diberikan satu detik pun untuk melihat wajahnya lagi setelah pagi pergi. Pikiran ku galau, ingin rasanya aku memberitahukan Atoen tentang hubungan kami, tapi bagaimana dengan perasaannya yang begitu dalam pada UQ yang telah menjadi bagian dari nyawa ku itu sekarang. Setelah merebahkan ragaku yang letih dengan semua perasaan yang galau itu di atas kasur badcover hijau berlatar inuyasya kesukaan ku. Aku terlelap hingga mimpi itupun datang.
“Siang, sayang....” ku dengar suara merdu dari seorang Laki-laki yang ternyata adalah BISMA, ya BISMA, Cinta Pertama bagiku dan juga Atoen. Bertemu dengannya saat itu adalah kebahagiaan yang begitu hangat ku rasa, meski memang hubungan kami dulu adalah cinta terlarang yang sampai saat inipun tak di ketahui oleh siapaun, terlebih Atoen yang memang telah menjadi tunangan BISMA sebelum kami menjalin hubungan itu.
ass.hai ,......nia kok ceritanya buagus bangat ..............sih aku jadi menangis membacanya .
BalasHapusceritamu mengingatkan aku pada cinta pertamaku yang tlah pergi.lanjutkan!!!!!! itulah kt yg pantas utkmu n aku dukung ceritamu so sweeeet...,,.,.,.